SEBUAH JURNAL TENTANG COVID-19

Sejarah mungkin akan mencatat tahun 2020 sebagai tahun yang kejam, akibat besarnya angka kematian manusia di seluruh dunia karena serangan wabah COVID-19 (penyakit Koronavirus 2019). Dimulai sejak Desember 2019 di Wuhan, China, virus ini menyebar ke negara-negara tetangganya, hingga akhirnya Indonesia pun nggak luput dari serangannya.

Per 2 Maret 2020 kasus COVID-19 di Indonesia dimulai, dan selanjutnya berkembang pesat. Penduduk Indonesia yang awalnya santai aja sebelum virus ini masuk ke sini – karena nggak menyangka serangannya akan semasif ini – akhirnya ketar-ketir. Kaget, pastinya. Termasuk gue. Sebagian besar panik begitu Presiden Jokowi mengumumkan kalau kasus positif COVID-19 sudah masuk ke Indonesia.

Informasi menyebutkan kalau Koronavirus pada dasarnya virus yang mirip dengan flu pada umumnya, dan bisa mati dengan sering-sering cuci tangan pakai sabun, atau menggunakan hand sanitizer. Penggunaan masker pun sangat disarankan, terutama bagi yang ngerasa kurang sehat. Karena penyebaran Koronavirus ini bisa melalui droplets, yaitu cairan yang dihasilkan dari batuk atau bersin. Dan hebatnya virus ini, ia bisa bertahan lama di benda yang ditungganginya. Nggak pakai lama, segera semua orang menyerbu masker dan hand sanitizer. Membuat dua barang itu susah dicari, dan celakanya, diborong oleh banyak pelaku pasar. Akibatnya harga masker dan hand sanitizer melonjak drastis, di titik yang nggak masuk akal. Kepanikan terjadi. Akhirnya bukan cuma kedua barang itu yang diborong banyak orang. Tapi juga keperluan sehari-hari di swalayan, karena takut akan diberlakukannya lockdown oleh pemerintah. Karena itulah yang terjadi di beberapa negara yang memiliki kasus wabah COVID-19, seperti di China, Filipina, kebanyakan negara di Eropa, dan terakhir yang barusan, Malaysia.

Mirip di film-film bertema epidemik, itulah yang nyata terjadi – nggak cuma di Indonesia, tapi juga di semua negara di seluruh dunia. Sementara di barat, terutama Amerika, yang diborong orang adalah tisu gulung untuk kamar mandi. Gue pribadi kadang ngerasa, sepertinya kepanikan ini terjadi juga – mungkin – karena kebanyakan nonton film bertema epidemik atau apokaliptik. He he. Tapi, ya, manusiawi sih.

Indonesia sendiri sejauh ini nggak memberlakukan lockdown. Tapi pemerintah menghimbau masyarakat untuk melakukan social distancing. Jaga jarak antar orang, untuk memotong penularan si virus. Sekolah-sekolah diliburkan, begitu juga sebagian besar kantor. Belajar di rumah, bekerja di rumah. Tagar #dirumahaja mendadak trending. Begitu pula tagar #WorkFromHome (WFH). Kegiatan kumpul-kumpul, acara besar, dan outdoor, juga ibadah keagamaan yang digelar rame-rame, termasuk shalat Jumat, semua ditiadakan dulu.

Apa kabar kegiatan musik? Ya pasti termasuk yang harus ditiadakan dulu dong. Di minggu awal Maret saat Pak Presiden mengumumkan kasus Koronavirus telah masuk ke Indonesia, banyak acara yang mulai dibatalkan. Tiba-tiba banyak teman seprofesi gue (musisi) yang menganggur. Juga teman-teman yang bekerja di event organizer, teman-teman fotografer panggung, dan profesi lain yang berhubungan dengan acara hiburan. Di sisi NAIF, awalnya nggak terlalu pengaruh. Kami, Alhamdulillah, waktu itu masih sempat manggung beberapa kali di awal Maret. Tapi begitu program social distancing dikumandangkan, praktis semua panggung NAIF per Maret sampai Mei 2020 dibatalkan, atau diundur – sampai waktu yang belum tau kapan. He he he. Amsyong.

Apakah social distancing berhasil dilakukan? Awal-awalnya nggak dong! He he.

Orang Indonesia terkenal ndableg (bahasa Jawa, artinya bandel) dan susah diatur. Satu-dua-tiga hari pertama setelah himbauan social distancing, aktivitas publik masih tinggi. Pasar tradisional rame, tempat wisata rame, sampai di gang-gang perkampungan, orang masih banyak yang nongkrong dan berkegiatan seperti biasa. Malah dianggapnya liburan untuk senang-senang. Banyak yang sepertinya ngerasa wabah ini bukan menjadi ancaman. Ada video riset sosial independen yang beredar, menggambarkan situasi “santai” masyarakat kita.

“Nggak takut sama Korona?”, ucap si pelaku riset.

“Nggak,” jawab mas-mas yang ditanya, “Kan hidup-mati kita udah ditentuin Allah. Virus itu kan ciptaan Allah juga.”

Itu salah satu cuplikan aja. Sisanya masih ada beberapa jawaban lain dari masyarakat – kebanyakan lapisan bawah – yang intinya nggak menganggap serius akan wabah ini.

Sementara itu pembatasan armada MRT dan Transjakarta malah membuat atrean panjang, dan moda transportasi pun jadi penuh. Belum lagi pro-kontra mengenai larangan kegiatan keagamaan ini tentu menimbulkan polemik tersendiri, mengingat masyarakat kita sangat sensitif kalau udah ngomongin soal agama.

Social distancing kita bisa dibilang nggak berhasil, di awal periode itu.

Seiring melonjaknya kasus positif COVID-19 di banyak wilayah Jakarta dan beberapa provinsi lain, barulah pemerintah mulai lebih keras. Sepertinya masyarakat kita memang nggak cukup cuma dikasih himbauan aja. Barulah program jaga jarak ini mulai efektif setelah – kurang-lebih – satu minggu.

Tapi kepanikan nggak kunjung reda. Info dari pemerintah yang kurang transparan, pemberitaan dari media yang terkesan menyeramkan, ditambah lagi berbagai broadcast info di layanan aplikasi chat dan media sosial yang rancu apakah itu fakta atau hoaks, semua bikin kebanyakan orang panik. Lagi-lagi, himbauan untuk jangan bepergian ke luar kota Jakarta dan mudik, nggak diindahkan.

Baru aja kemarin asisten rumah tangga (ART) gue pamit mudik. Alasannya, takut. Soalnya banyak “berita” yang ia terima begitu menyeramkan. Semua didapatnya dari kiriman WhatsApp. Selain takut sama virusnya, juga takut kalau semua ini berkepanjangan, mereka nggak akan bisa mudik Lebaran nanti. Padahal udah sering gue dan istri gue kasih ia wawasan tentang Koronavirus. Gimana cara kerja Koronavirus ini, gimana cara menyikapinya, dan lain-lain, termasuk juga jangan panik dan jangan mudik dulu saat ini. Tapi tetap aja ia dan keluarganya nekat mudik. Gue yakin, ini baru satu kasus aja. Pasti banyak orang lain yang seperti mbak ART gue itu.

Guys.

Ini adalah saat yang berat untuk kita semua. Saat bagi kita untuk mengalah oleh alam. Nggak usah kepanjangan mikirin segala tentang teori konspirasi. Kalau pun memang ini semua konspirasi, itu di luar kuasa kita. Gue juga percaya kok, bahwa memang ada segolongan manusia “kuat” yang mengatur tatanan dunia ini. Cuma, ya, mau gimana lagi? Gue hanyalah seorang gue. Kita cuma bisa mendoakan yang terbaik aja, dan memohon Tuhan supaya memberikan cahayanya bagi kita untuk berjalan ke arah yang benar, bertualang mencari arah pulang menuju Dia.

Lihat sisi baiknya. Selama masa lockdown di beberapa negara di dunia ini, dan selama masa social distancing di beberapa negara lainnya, termasuk negara kita; alam kita terasa seperti menyembuhkan diri. Di banyak negara, sungai-sungai dan laut bersih. Di banyak kota besar dalam negeri kita, langit cerah akibat berkurangnya polusi. Siapa tau kita para manusia ini memang saat ini disuruh untuk lebih mikir. Evaluasi diri. Supaya kita bisa lebih menghargai diri kita. Rajin bersih-bersih, he he. Supaya di masa depan nanti kita nggak lagi berlaku zalim kepada alam kita. Kepada makhluk lain ciptaan Tuhan, baik itu sesama manusia, kepada hewan dan juga tumbuhan. Mungkin kehadiran Koronavirus ini menyuruh kita untuk lebih mengingat Sang Pencipta kita. Betapa nggak berdaya dan kecilnya kita di hadapan alam semesta. Apalagi di hadapan-Nya.

Akhir kata.

Tetap jaga kesehatan, guys. Karena itu kunci kita melawan virus ini. Tetap di rumah aja. Jangan keluar rumah kalau nggak terlalu perlu. Kalau memang harus keluar rumah, lakukan prosedur standar internasional untuk pengamanan diri. Pakai masker. Semoga Allah melindungi kita selalu.