Bingung. Sedih.
Campur-aduk rasanya, itu yang terjadi dalam benak gue sekarang. Sore tadi sekitar waktu maghrib, ada telpon masuk dari kakak gue. Dia mendapat kabar dari Semarang.
“Papa meninggal,” katanya.
Papa. Ayah gue. Wafat di usia 79 tahun. Kepergiannya cepat sekali, menurut penuturan istrinya. Ibu tiri gue. Bu Ita, kami memanggilnya.
“Beberapa hari belakangan memang Papa nggak mau turun dari kasur,” kata Bu Ita, “Tapi tetep mau makan-minum. Cuma seharian ini Papa nggak mau makan.”
Sudah sekitar delapan tahun terakhir kondisi kesehatan Papa memang mulai terganggu. Dan di akhir pertemuan kami awal tahun 2020 lalu, Papa semakin terlihat payah berjalan, dan mulai pikun. Di situlah hati gue tersentuh.
Sedikit kilas-balik. Ketika Papa tau kalo gue serius ngeband, dulu, Papa nggak terlalu mendukung. Responnya selalu sinis saat gue ceritakan tentang kegiatan bermusik gue bareng NAIF. Lambat-laun begitu karir NAIF menjanjikan dan bisa menafkahi gue, Papa terlihat mulai tenang dan bisa menerima kenyataan. Namun, tetap, di sisi lain, sejauh apapun gue coba untuk mendekatkan diri dengan Papa, masih ada rasa canggung. Begitupun Papa. Karena memang sejak Papa pisah dengan Mama, hubungan kami nggak harmonis. Papa, gue dan kakak-kakak gue. Saat itu gue masih kelas 1 SD. Apalagi pekerjaan Papa membuatnya harus sering berpindah dari satu kota ke kota lain. Gue anak terakhir, by the way, dan cowok satu-satunya.
Keadaan mulai menemukan titik-balik saat gue bercerai dengan istri gue dulu. Sempat ada masa gue singgah ke rumah Papa di Semarang, kampung halaman beliau dan sekaligus menjadi tempatnya menikmati masa pensiunnya. Di sana kami sama-sama mencoba untuk memperbaiki hubungan. Dan tampak berhasil. Waktu itu tahun 2010, kalo nggak salah. Sejak itu, setiap kali NAIF manggung di Semarang, gue selalu sempatkan ketemu Papa. Termasuk ketika gue udah menikah lagi, sering gue ajak istri gue mampir ketemu Papa dan keluarganya, saat NAIF ke Semarang.
Ada satu lagi momen berkesan gue dengan Papa. Suatu saat NAIF tour, dari Semarang mau ke Cirebon. Karena gabut, Papa minta ikut ke Cirebon. Hehehe. Di situlah gue alami saat-saat bahagia bersama sosok seorang ayah yang gue rindukan. Tidur sekamar bareng, jalan-jalan, bercanda-ria. Sial, mata gue berkaca-kaca saat nulis ini!
Hubungan Papa dengan para personil NAIF pun cukup dekat. Papa hapal nama-nama setiap personil NAIF, dan sering pula bercanda dengan mereka. Senang rasanya.
Kembali ke masa kini. Hari ini, Kamis, 12 Agustus 2021. Papa harus pergi dari dunia ini. Sudah dipanggil Allah SWT sore tadi. Dan kini hati gue campur-aduk.
Sedih, karena nggak bisa melayat langsung ke Semarang, akibat masa PPKM yang terus diperpanjang di masa wabah Covid-19 ini; dan propinsi Jawa Tengah, terutama Semarang, saat ini masih tergolong sebagai Zona Merah. Marah, karena beberapa hari terakhir ini gue selalu mengundur waktu ketika terfikir untuk menelpon Papa.
Cuma doa yang bisa gue kirim. Semoga Papa mendapat akhir yang baik, dan Allah ampuni dosa-dosanya, serta tempatkan beliau di sisi-Nya. Tempat yang sebaik-baik tempat.
Ada rasa syukur juga, Papa cepat sekali perginya. Semoga benar, nggak ada rasa sakit dan nggak ada derita.
Maafkan anakmu ini, Pa. Semoga Pepeng sudah memberi kebahagiaan di masa hidupmu.