Harapan Untuk Komik Indonesia

Gue coba ikutan program #30HariKomikIndonesia, ah. Ngomongin komik Indonesia selama 30 hari mulai awal April ini, menyambut #KosasihDay2020.

Bicara tentang #KosasihDay, ada pertanyaan tentang apa harapan untuk komik Indonesia.

Hmm… Oke. Gue akan berbicara sebagai pengamat dan pembaca komik Indonesia, bukan sebagai praktisi. Sejauh ini kondisi komik Indonesia sebetulnya sudah jauh lebih baik ketimbang satu dekade silam. Hanya saja, sepertinya konsentrasi para pelaku industrinya, baik itu kreator komiknya (penulis dan illustrator), studio komik, juga penerbit komik fisik dan online, semua masih di seputar skenanya saja. Masih bermain di zona nyaman. Ini sangat dimaklumi, mengingat demand akan membaca komik lokal di masyarakat luas masih kurang. Tapi… Nah, ini. Udah mulai masuk ke “harapan” nih.

Harapan gue pribadi, komik Indonesia harus (kembali) menjadi tuan rumah di negeri kita. Jangan lagi kita terus-menerus menghibur diri dengan kenangan masa lalu (baca: masa kejayaan komik Indonesia). Ini adalah PR besar kita bersama.

Dari sisi kreator, bikin konten yang bagus; yang menarik. Yang bisa dekat dengan masyarakat. Dan (seharusnya) punya nilai moral baik juga. Jangan cuma karena pengen dekat sama pembaca akhirnya terjebak dengan jokes receh aja, yang kadang bagi sebagian pembaca mungkin malah mengganggu.

Masih dari sisi kreator; perbanyak genre komik, supaya para pembaca punya banyak pilihan.

Sementara itu di sisi studio dan penerbit komik, harus lebih giat untuk mendukung pergerakan para kreator komik kita. Jangan malas mencari sponsor atau investor, dan meyakinkan mereka bahwa produk komik kita punya nilai bagus di market. Jangan malas melakukan riset yang ditujukan kepada para pencinta buku secara luas -bukan hanya komik. Adakan media baru yang memberi ruang bagi para kreator komik untuk lebih semangat berkreasi. Misalnya dengan menghadirkan kanal khusus komik di Youtube, atau podcast khusus komik yang membahas segala jenis komik Indonesia; jangan hanya komik terbitan sendiri aja. Ini semua membutuhkan persatuan.

Persatuan itu yang membentuk musik Indonesia maju. Menjadi tuan rumahnya sendiri. Karena gue juga berkecimpung di musik, gue bisa menilai sendiri, bagaimana sulitnya dulu para musisi kita di paruh 1980an akhir ingin memajukan karya yang mereka usung. Karena senimannya terlalu banyak dan terpencar. Lalu di era 1990an tumbuh lebih banyak komunitas (walau beberapa komunitas musik sudah ada sejak 1970an), kemudian komunitas itu bersatu membuat acara bareng, dan semuanya menjadi bola salju yang besar dan bisa menjadi pembuktian tersendiri terhadap para industrialis musik dan acara hiburan.

Perlu gue bandingkan antara pergerakan musik Indonesia dengan komik Indonesia. Karena memang kasusnya mirip.

Akhir kata, gue yakin komik Indonesia akan bisa lebih maju seperti majunya musik Indonesia. Selama kita semua para praktisi komik tidak egois dan menganggap merek lain sebagai rival yang dimusuhi. Bersainglah secara positif. Kan, katanya “Bersama Kita Bisa!”. 😉

 

Foto: Antionius Septiano (circa 2017)