GIMANA DONG?

Headline berita pagi ini mengatakan kalau penanganan Covid di India lebih baik dari Indonesia, sementara penduduk mereka 5 kali lipat lebih tinggi dari negara kita ini. India mampu menambah ribuan lab dalam sekejab, juga mengadakan 5,2 juta tes setiap minggu. Luar biasa! Belum lagi gue sempat lihat video yang viral beberapa hari lalu tentang bagaimana ketatnya razia pemakaian masker di India dan beberapa negara Asia lainnya. Di situ gue lihat, di India, polisi yang merazia diperlengkapi sebilah rotan. Jadi siapa ketahuan nggak pakai masker, selamat menikmati gebukan sayang dari pak polisi. Apa kabar di Indonesia? Bantuan sosial dikorupsi Menteri Sosial, nggak berani lockdown (dulu di masa awal kasus Covid masuk) karena pemerintah “mengaku” nggak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya apabila lockdown. Gimana dong?

Sementara kemarin gue baca headline di beberapa portal berita, Presiden Jokowi (lagi-lagi) kesal karena program PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) terasa kurang efektif. Sekitar bulan lalu gue sempat baca beliau juga sempat marah karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) nggak dinilai efektif. Padahal di sisi sebagian masyarakat dan epidemiolog sudah sejak lama merasa kedua program pemerintah tersebut memang nggak efektif. Gimana dong?

Pagi tadi gue dikabari mas kontraktor yang sedang bersiap merenovasi rumah gue kalau ada sedikit masalah. Dua pekerjanya tiba-tiba ngabarin kalau mereka ada di kampung dan minta ongkos untuk datang ke lokasi proyek. Padahal sekitar 4 hari lalu sewaktu survey rumah gue, setelahnya, si mas arsitek gue tersebut sudah menyiapkan tempat untuk mereka menginap sampai waktu kerja (hari ini). Tapi mereka yang berinisiatif untuk pulang kampung tanpa bilang-bilang. Sekarang saat tiba waktunya untuk kerja, mereka malah masih di sana dan minta ongkos untuk datang ke sini. Gimana dong?

Jadi gue baru pindah rumah sekitar beberapa bulan lalu. Alhamdulillah, sebelum dunia carut-marut digerogoti virus Corona penyebab wabah Covid-19, gue sempat membeli rumah, tahun 2018. Sebelumnya, sekitar 6 tahun mengontrak. Tapi sayang, hasil pembangunan rumah gue banyak yang nggak memuaskan. Kurang cakap, sepertinya, tim pekerja waktu itu. Akhirnya diatur waktunya untuk beberapa perbaikan. Tadinya mau pakai pekerja dari gue. Tapi ternyata mas pekerja yang gue mau pakai jasanya, mangkir di hari saat proyek akan dijalankan. Akhirnya diganti dengan tim pekerja dari pihak kontraktor gue. Eh, kejadiannya malah kayak yang tadi gue ceritakan. Gimana dong?

Beberapa waktu lalu dapat kabar dari istri gue kalau akang yang ikutan bekerja di proyek pembangunan rumah gue nge-chat ibu mertua gue. Minta kerjaan. Padahal hasil kerjanya waktu itu sangat mengecewakan, dan istri gue terang-terangan nunjukin sikap nggak suka dengan pekerjaannya.

Istri gue juga sempat mendapat chat dari mbak asisten rumah tangga yang pernah kerja di rumah gue, sebelum pindah ke rumah baru. Minta kerjaan. Waktu itu di masa awal pandemi, si mbaknya memang pernah minta ijin pulang kampung. Takut Corona, katanya. Dia janji, kalau gue dan istri udah pindahan, dia akan balik lagi kerja sama kami. Tapi pas gue udah pindah, istri gue hubungi si mbaknya, nggak pernah ada balasan sama sekali. Mangkir pula, ternyata. Setelah berbulan-bulan kami akhirnya putuskan nggak usah pakai tenaga asisten rumah tangga, eh, si mbaknya nongol. Minta kerjaan. Gimana dong?

Kasus-kasus di atas – bagi gue – jelas menunjukkan, bahwa memang ada yang nggak beres dengan mental kita (baca: orang-orang Indonesia). Secara global. Revolusi Mental yang dikoar-koar saat kampanye Jokowi di masa periode pertamanya sebagai calon presiden NKRI tercinta terasa seperti slogan semata. Memang, negara kita ini kaya akan slogan. Suka akan singkatan. Bermacam slogan dan singkatan digadang untuk mengkampanyekan sesuatu. Tapi sayangnya nihil saat eksekusi.

Terlalu renggang gap, dan terlalu tinggi tingkat ketimpangan ekonomi, sehingga menimbulkan banyak kasus kecemburuan sosial.

“Elo kan banyak duit,” ucap Si Miskin, “Elo pasti butuh gue. Mana, sini duit lo?! Kasih gue! Gue butuh nih! Seratus ribu mah buat elo nggak ada apa-apanya, kan? Buat gue, berarti banget buat makan dan ongkos!”

“Woy, mobil!” hardik Si Miskin, “Kasih lewatlaaah motor-motor kayak gue ini! Buru-buru kerja nih! Elu mah enak, macet-macet masih adem kena AC! Macetnya juga gara-gara kebanyakan mobil?!”

“Elo! Pokoknya, gue nggak mau tau, ya?!,” kata Si Kaya, “Lo kelarin dah tuh kerjaan! Kalo nggak kelar, nggak gue bayar!”

“Mas, dibayarnya minggu depan, ya? Saya masih ada urusan bayar-bayar yang lain dulu.” ujar Si Kaya kepada Si Miskin yang sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Yang Kaya sering semena-mena kepada yang Miskin; yang Miskin akhirnya membalasnya dengan sikap semena-mena versi dia. Kalau begini terus, nggak selesai-selesai dong?

Sama aja kayak kasus Covid di Indonesia. Nggak akan selesai selama sikap kita masih dipertahankan seperti ini. Selama mental kita masih seperti ini. Masyarakatnya egois. Nggak mau pakai masker dan jaga jarak dengan alasan nggak nyaman, atau dengan alasan (sesederhana) nggak percaya bahwa Covid itu ada. Nggak mau disuruh-suruh. Padahal dengan sikap seperti itu, bisa akan membuat orang-orang di sekitarnya terpapar Covid. Apalagi dengan semakin banyaknya kasus orang tak bergejala.

Kita perlu untuk berfikir lagi, sudah sampai mana tingkat kepedulian kita terhadap sesama. Nggak usah mikirin antar sesama makhluk ciptaan Tuhan dulu deh. Pikirin aja dulu antar sesama manusia. Kalau kita ngerasa selama ini belum punya kepedulian yang tinggi terhadap sesama manusia, coba benahi sikap ini. Ini juga berlaku untuk diri gue, pastinya.

Selama ini banyak ahli ilmu agama selalu mengingatkan kita untuk banyak berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan. Pandemi Covid ini adalah peringatan dari Tuhan kepada kita untuk mengingat-Nya. Lalu gue pikir-pikir lagi, apakah itu cukup? Apakah cukup hanya dengan berdoa, minta ampun, dan berdoa terus?

Nggak.

Kita sering lupa bahwa beribadah itu nggak melulu tentang berdoa. Beribadah itu nggak melulu tentang hubungan kita dengan Dia. Peduli dan saling mengasihi terhadap sesama, itu juga ibadah. Memakai masker karena peduli orang lain, itu ibadah. Menjaga jarak di masa wabah ini, itu juga ibadah. Stay at home dan mengikuti perintah pemimpin kita, itu ibadah.

Come on, guys. Katanya Indonesia itu negara beragama? Katanya Indonesia masyarakatnya gotong-royong? Saling peduli, itu bentuk keberagamaan loh. Saling melindungi satu sama lain adalah juga salah satu bentuk kegotongroyongan, guys.

Kemarin-kemarin mungkin sebagian dari kita masih punya pembenaran diri, “Yah, setidaknya masih ada negara lain yang lebih ca’ur dari kita.”

Tapi, apa iya kita perlu berkaca dari yang lebih ca’ur? Berkaca, ya, dengan yang lebih baik, dong! Biar termotivasi untuk lebih baik!

Sekarang Indonesia sudah menjadi negara nomor 1 yang tingkat kasus Covid-nya tinggi se-Asia. Gimana dong?