LIFE’S ROUGH, NEED SOMETHING TOUGH!

Setiap orang pasti pernah ada di dalam situasi dimana ia harus memilih. Kenapa harus ada pilihan? Hehe… Nggak usah rumit-rumit berfilosofi untuk ngejawab pertanyaan ini. Setiap detik kita itu piihan… Itu intinya. Cuma kadang memang pilihan itu berjalan sealami itu, kadang memerlukan usaha. Saat elo berjalan dari kantor menuju rumah, sebetulnya langkah jalan yang elo tempuh itu adalah pilihan. Tapi elo udah terbiasa melalui jalan itu, jadi ya semua berjalan alami aja. Beda lagi kalo elo memilih jalan pulang lewat yang agak asing. Elo pasti akan ber-effort lebih.

Gue pernah mengalami kegalauan dalam memilih jalan hidup gue. Saat itu tahun 2001. Gue lagi giat-giatnya nyari duit tuh. Saat itu gue berprofesi sebagai visual artist yang mengkhususkan diri ke bidang storyboard film, videoklip dan iklan televisi. Bahasa awamnya “tukang gambar”… Hehe. Dan kebetulan di masa itu gue termasuk dalam, ehm, jajaran tukang gambar yang laku.

Lho, kenapa jadi tukang gambar? Memang, sebetulnya gue sama sekali bukan berasal dari bidang seni musik. Gue bukan musisi yang pernah sekolah musik, dan pula bukan drummer yang pernah kursus drum. Begitu pula dengan personil NAIF lainnya. Emil, David dan Jarwo… mereka semua sama kayak gue: anak sekolahan seni rupa!

Gue memulai karir sebagai visual artist di tahun 1999. Begitu lulus dari kampus seni di Jakarta yang berinisial I-K-J itu gue langsung mendapatkan pekerjaan yang – saat itu – terbilang keren. Gimana nggak keren? Karya elo akan jadi sebuah guide sutradara untuk iklan atau film mereka! Lo akan bisa dengan bangganya mengatakan ke temen lo, “eh, iklan itu storyboardnya gue yang bikin lho!”… Hahaha! Dan memang gue bangga pernah jadi seorang visual artist.

Sebelumnya, setelah lulus SMA, gue pernah pula bekerja freelance di majalah HAI. Jadi tukang gambar juga. Kerjaan gue dulu bikin illustrasi untuk cerpen, cerbung dan artikel-artikel lainnya. Dan nggak tanggung-tanggung, yang mewawancarai gue saat itu adalah idola gue dalam dunia illustrasi, mas Wedha Rahman – Sang Bapak Illustrasi Indonesia, sekaligus pencipta citranya Lupus (karya Hilman Hariwijaya). Melalui beliau, gue banyak belajar teknik menggambar, dan akhirnya terbujuk untuk mendalami dunia disain grafis, ilmu yang gue timba di IKJ.

Baiklah… Kembali ke laptop! Baca tulisan gue ini, jangan seliweran matanya! Hehe. Anyway, di tahun 2001 tadi itu, adalah masa emasnya NAIF juga. Seperti yang – mungkin – pernah elo baca di NAIFologi (www.naifband.com/naifologi), NAIF berdiri sejak 1995. Album pertama kami baru dirilis 3 tahun kemudian. Single Mobil Balap dan Piknik ’72 melambungkan nama NAIF ke permukaan. Yang tadinya kami cuma manggung di acara-acara indie teman-teman, akhirnya mulai banyak dikenal dan sering main di acara-acara umum. Lalu tahun 2000 kami merilis album kedua yang berjudul Jangan Terlalu NAIF. Single hit di album itu berjudul Posesif – lagu yang gue tulis. Nah! Ente tau sendiri dah tuh gimana fenomenalnya lagu itu!! Ehm… Maap, nggak bermaksud nyombong. Tapi memang bener kan? Lagu Posesif itu sangat menasional. Salah satu faktor terbesarnya adalah videoklipnya, tentunya. Sejak ngehitnya Posesif, job panggung NAIF langsung mencuat! Honor panggung pun meningkat pesat! Hal ini sangat berpengaruh ke diri gue yang saat itu pun punya orderan banyak menggambar. Waktu semakin mepet dan dempet antara deadline storyboard gue dengan panggung NAIF. Bahkan sesekali waktu sempat pula gue menggambar di lokasi gue sama NAIF manggung. Intinya, ribetlah!

Dan pada akhirnya di tahun 2001, sampailah gue di titik puncak emosi… Gue harus menentukan pilihan, begitu pikir gue saat itu. Pilihan gue ini bukan pilihan main-main. Ini menentukan masa depan gue.
Karir gue di bidang gambar-menggambar udah meningkat. Ini adalah passion gue. Sejak kecil gue mempunya kemampuan menggambar yang lebih dibanding temen-temen gue lainnya, dan gue memang pengen banget jadi komikus. Dan bukan nggak mungkin bidang gue yang satu ini merupakan batu pijakan gue. Udah gitu, honor gue jadi tukang gambar storyboard ini juga nggak main-main. Saat itu, di tahun 1999 sampai 2001, gue bisa ngantongin kocek satu sampe 2 jutaan dalam satu project iklan. Belum lagi kdang-kadang saat gue lagi ngerjain satu project, datang lagi project lainnya. Gue inget banget, honor gue saat itu jadi tukang gambar jauh lebih besar daripada penghasilan gue di NAIF, bahkan di masa awal NAIF meledak dengan Posesif-nya itu!
Musik adalah hobi gue. Sejak kecil gue dengerin macam-macam jenis musik. The Beatles adalah cinta pertama gue sama musik barat. Gue sampe bela-belain beli kaset sendiri naik sepeda ke toko kaset terdekat, sekedar untuk beli kaset The Beatles. Dan itu sering gue lakukan. Saat itu gue masih kelas 3 SD. Tukang kasetnya aja sampe bingung. Trus, saat kelas 4 SD, selera musik barat gue naik kelas juga. Gue doyan dengerin Duran Duran dan Genesis. Dan begitu seterusnya, tingkatan wawasan musik gue – terutama musik barat – semakin luas, sampai akhirnya suka musik rock, pengen main band, diajakin main band saat SMP kelas 3 – di sinilah gue belajar main drum – dan seterusnya akhirnya di SMA dan kampus gue malahan makin sering ngeband ketimbang mengasah kemampuan menggambar gue. Trus kecemplunglah gue di NAIF, band yang akhirnya ngebawa gue ke dapur rekaman, bikin album dan keliling kota untuk manggung. Memang, saat itu – di awal karir musik NAIF – penghasilan yang gue dapat dari NAIF belumlah sebanding dengan honor gue jadi visual artist, tapi gue sangat menikmati moment gue di panggung bareng David, Emil, Jarwo dan Chandra (saat itu NAIF masih berlima). Dan ini semua bikin gue dilemma.

Singkat kata, gue harus memilih… Dan pilihan gue jatuh ke musik. Ya, gue menceburkan diri gue ke dunia musik dan entertainment, dan gue mencoba total… Sampai sekarang.

Alhamdulillah, NAIF masih bertahan sampai sekarang. Masih bisa hidup dan menghidupi para personilnya beserta keluarganya, dan kru-krunya. Tahun ini, tepatnya 22 Oktober 2012 nanti, NAIF menginjak usia 17 tahun, dan masih hidup. Gue nggak pernah sama sekali berpikir untuk pindah haluan. Semua energi dan pikiran gue akan gue salurkan di band yang udah bikin gue jatuh cinta dan memilihnya untuk jadi “pegangan’ hidup gue. RAKSASA, KomikNAIF, Setan Jalanan, Bonbinben? Itu adalah projects. Itu adalah media pencurahan energi gue yang berlebih. Kalau itu semua bisa jadi besar, itu adalah bonus untuk gue. Syukur kalau bisa jadi sebuah bisnis yang panjang. Musisi juga butuh dana pensiun, mas. Hahaha… Tapi kalau pun nggak jadi apa-apa, ya setidaknya gue udah berkarya dan berusaha.

Totalitas! Itu kuncinya. Sekali kita menentukan pilihan, curahkan 90% energi positif kita ke situ. Yang 10%-nya adalah hati tenang yang netral, sebagai amunisi kita saat yang 90% gagal di tengah jalan, untuk membangkitkan semangat supaya yang 10% tadi bisa menjadi 100% lagi dalam membuka halaman baru. Kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi di depan, kawan. Butuh sesuatu yang keras untuk melalui hidup yang keras ini.

Coke
Ini adalah job di awa-awal karir gue sebagai tukang gambar storyboard iklan, 1999.

Si Jeruk
Disain karakter Si Jeruk, tokoh di iklan Nutrisari, 2000.

Talk Show
Ini adalah konsep talkshow saat gue kerja freelance di sebuah advertising agency, 2001.