TRAVEL THROUGH TIMES

Belakangan ini gue lagi berkutat sama beberapa kegiatan yang memiliki satu garis merah: waktu. Gue bikin komik yang judulnya Petualangan NAIF Dan Mesin Waktu, dan gue juga – tanggal 7 Mei kemarin – baru aja manggung sama sebuah band bergenre Indorock, bersama Awan Garnida (SORE), Yossy Cakramega, Agus Budhi Prasetyo, Adly Lennon (Antri Band), dan salah seorang pelaku sejarah Indorock sendiri: Rio Dalimonthee, gitaris The Timebreakers (time artinya Waktu), sebuah band masa lampau yang ngetop di Belanda dengan personil mayoritas anak bangsa. Bahkan band itu sendiri – yang gue ikutan di dalamnya – bernama The Time Travellers.

Gue kutip status Facebook yang gue suka dari salah seorang sahabat gue, “The greatest gift you can give someone is your time… Because when you are giving someone your time, you are giving them the portion of your life that you will never get back.”
Ngerti? Nggak? Hadeeehh… Mari kita ambil remote kita dan ubah subtitle-nya jadi Bahasa Indonesia.
Artinya, “Hadiah terbesar yang bisa kamu berikan kepada seseorang adalah waktu kamu … Karena saat kita memberikan seseorang sebagian dari waktu kita, maka kita telah memberikan bagian dari hidup kita yang tak akan pernah kita dapatkan kembali.”
Well… Memang, bicara soal waktu jadi bikin kita sadar bahwa hidup kita itu sangat berarti. Setiap detik adalah karunia Illahi. Sekali kita menunda waktu, efeknya akan bisa sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita selanjutnya.

Sering kita denger orang yang lebih tua dari kita ngomong dengan kalimat awal, “dulu, waktu saya muda…”, dan kalimat sejenis lainnya, yang menandakan kebanggaan mereka akan diri mereka sewaktu muda, yang nggak bisa mereka ulang lagi. Mereka cuma punya memori… kenangan. Setiap orang punya kenangan. Nggak peduli itu orang kaya atau miskin, terkenal atau nggak, entah itu kenangan baik atau buruk, semua udah menyatu dalam perjalanan kehidupan anak Adam.
Gue sekarang ini lagi terlibat dalam dua project yang masing-masing di dalamnya terdapat seorang mantan rockstar. Yang satu adalah Om Rio Dalimonthee – yang udah gue sebut di atas tadi – dan satunya lagi adalah seorang raja… Raja Dangdut kita (nggak usah gue sebut lagi namanya, kita semua pasti taulah). Keduanya – gue anggap – adalah figur orang sukses di masa mudanya, dan mereka pengen bernostalgia kembali – mengenang kejayaan mereka – dengan cara mereka masing-masing. Pada awal gue jalan bareng mereka, ada rasa sungkan terhadap mereka. Karena gue sangat menghormati mereka sebagai sesepuh. Tapi seiring berjalannya waktu (kesebut lagi dah itu kata), gue makin sadar bahwa biar gimana pun, mereka cuma seorang bapak-bapak biasa, yang berkelakuan seperti layaknya seorang ayah (dengan segala kecerewetannya yang sering dianggap annoying sama anaknya, hehe), seorang suami (yang sering diomelin istrinya, hahaa)… dan seorang manusia biasa yang udah tua, yang cuma punya kenangan akan masa jayanya sewaktu muda. Sejauh mana mereka mencoba untuk mengulang kejayaannya, tetep nggak akan ada yang bisa menandingi kejayaan di masa mudanya.

Sifat waktu itu mutlak: nggak bisa diulang! Satu lagi tanda kebesaran Tuhan. Mau gimana kita memanfaatkan waktu kita, cuma kita yang tau. Dan kita juga nantinya yang akan ngerasain efeknya… di masa depan.