SATU HAL KECIL BISA BERDAMPAK BESAR

“Mohon bapak-bapak yang sudah datang, isi barisan depan yang kosong,” kata pengurus masjid menghimbau ke para jama’ah shalat Jumat yang udah hadir tapi lebih memilih duduk di barisan belakang, sementara barisan depan shaf masih banyak yang melompong.

Kalimat ini sering gue dengar di setiap shalat Jumat, di mana aja, kapan aja, sejak gue kecil. Tampaknya memang ada kecenderungan orang-orang enggan duduk di barisan depan. Kira-kira apa ya sebabnya? Apa yang ditakutkan mereka, kira-kira? Takut tengsin kalau ketauan ketiduran saat khatib berceramah? Atau memang malas aja? Kalau malas aja, apa sebabnya? Padahal kan kalau duduk di depan kata-kata ceramah si khatib malah jauh lebih jelas kedengeran?

Lain lagi kasusnya kalau kita hadir dalam acara konferensi pers. Para wartawan sering hening saat bung moderator mempersilakan mereka bertanya. Padahal pas banget di sesi tanya jawab. Mereka malah lebih suka mengerubung si narasumber di akhir acara, setelah fotosesi. Padahal nggak jarang narasumber yang sebetulnya keberatan ditodong mikrofon, kamera atau alat rekam audio saat acara selesai – di saat seharusnya mereka udah istirahat, bahkan pulang.

Cukup lama gue memperhatikan hal-hal semacam ini. Sifat kita yang cenderung nggak mau duduk di depan, nggak mau muncul ke permukaan, nggak mau angkat tangan untuk bertanya, dan sebagainya. Apa kira-kira latar belakangnya?

Gue jadi ingat, beberapa tahun ke belakang, sekitar 30 tahun lalu, saat gue duduk di bangku SD (ya ya, memang saya cukup tua saat ini. Haha!). Pernah suatu waktu guru gue ngasih pertanyaan tentang materi pelajaran yang baru aja beliau jelaskan, untuk mengetes ingatan para muridnya. Lalu gue angkat tangan, yakin bisa menjawab. Ternyata jawaban gue salah. Langsung aja teman-teman gue ngetawain. Gue kecewa saat itu. Kecewa sama diri gue, dan kecewa sama teman-teman gue yang ngetawain gue. Sejak itu gue jadi agak ragu untuk speak up di kelas, baik itu ngejawab pertanyaan guru, bertanya ke guru ketika nggak ngerti, atau bahkan untuk sekedar merevisi guru saat mereka salah dalam menjelaskan sesuatu. Hal itu berlangsung sampai… Seingat gue sampai gue besar.

Apa iya segitu besarnya efek dari hal sekecil itu? Hal sesepele itu? Kenapa nggak? Mungkin banget. Dan mungkin bukan gue doang yang pernah mengalami “trauma” dengan hal seperti ini. Hal kecil yang dialami anak kecil, yang ternyata berdampak besar dalam perkembangan mentalnya, sampai dewasa.

Bullying.
Perundungan.

Mungkinkah itu sebab dari ringkihnya mental kebanyakan kita saat ini? Takut diketawain, takut dicemooh, takut dianggap salah, takut diomongin orang, dan banyak lagi ketakutan kita. Padahal kita semua tau, rasa takut adalah permainan otak kita. Padahal kita tau, kalau kita takut terus kita nggak akan maju.

Kasus perundungan bukan cuma ada di Indonesia. Setiap belahan dunia mengalaminya. Tapi berhubung kita tinggal di Indonesia, dan kita orang Indonesia, mari kita fokus pada diri kita aja – pada bangsa kita. Jangan kita membentuk Indonesia menjadi bangsa yang penuh ketakutan. Penuh rasa tidak percaya diri. Karena secara nggak langsung kita akan membuat bangsa kita nggak maju-maju.

Sudah cukup jelaskah inti dari tulisan ini?

Ya. Sudah saatnya kita lebih berani. Sudah saatnya kita didik juga anak-anak dan adik-adik kita untuk berani. Berani dalam hal yang benar dan berbuat benar. Berani speak up. Kalau ternyata salah? Well, kadang kita memang harus mengerti arti kesalahan dulu sebelum mengerti kebenaran. Kita manusia. Sangat manusiawi bila kita salah. Didik anak-anak dan adik-adik kita untuk nggak takut dengan sikap yang mengintimidasi dari lingkungan sekitar, dan tentunya jangan ajari mereka untuk mengintimidasi orang lain.

Selamat Hari Anak Nasional.
Frank!
23 Juli 2016