SAATNYA MERENDAH, BUKAN JADI RENDAHAN

Setiap pergantian tahun, selalu kita terdorong untuk mengevaluasi dan meresolusi. Itu hal alami, karena manusia secara natural menginginkan perbaikan dalam hidupnya.

Semua yang terjadi di tahun 2021 gue anggap sebagai titik balik gue sebagai manusia berkesenian. Selepas dari NAIF pada kuartal akhir tahun 2020 membuat gue untuk memulai sesuatu yang baru bagi karir gue di dunia musik. Membangun kembali projek solo Frank N’ Friends (FNF) melalui single Jangan Ganggu bersama Rona Anggreani dan Vania Aurell, membangkitkan kenangan gue saat dulu awal-awal merintis NAIF. Lalu, momen ketika anak gue sakit demam berdarah sekitar bulan Juli silam dan peristiwa wafatnya ayah gue pada bulan Agustus 2021 menjadi sebuah pengingat gue untuk tidak pernah lupa kepada Tuhan dan selalu mensyukuri nikmat-Nya.

Dan Alhamdulillah, gue pada akhirnya menginjakkan kaki gue ke salah satu museum terkeren di Indonesia (bagi gue), yaitu Museum Basuki Abdullah, waktu itu, sekitar pertengahan Desember 2021. Jadi ceritanya gue diajak untuk hadir membuka sebuah pameran illustrasi yang merupakan karya-karya mahasiswa DKV IKJ, mengucapkan sepatah-dua patah kata sambutan. Keren banget karya-karya mereka.

Highlight-nya adalah, tahun 2021 mengajarkan gue untuk bisa kembali merendahkan hati gue dan lebih mau bertukar ilmu dengan orang lain, baik itu yang lebih tua maupun yang lebih muda. Ah, ya! Gue pun akhirnya potong rambut di tahun 2021. Hahaha! Sekitar bulan November, kalau nggak salah.

Kehidupan masa lalu gue di antara gemerlap lampu panggung dan status figur publik, sedikit-banyak, secara sadar maupun tidak, membuat gue cenderung mengangkat dagu dan selalu berkacamata hitam. Kemudian ketika pandemi datang pada bulan Maret 2020, kehidupan berubah dalam sekejap. Kita semua tentu kaget dengan situasi itu. Berbagai kegiatan terhenti. Banyak yang kehilangan pekerjaan, dan juga kehilangan nyawa. Semua terdampak. Nggak ada yang lolos dari ancaman ini. Alam seakan mengingatkan kita, para manusia, untuk tidak sombong. Semua orang dituntut untuk bertahan. Ini adalah seleksi alam.

Gue, juga para seniman lain, seperti dipecut supaya lebih kreatif dan bekerja keras untuk hidup. Ketika gue putuskan untuk nggak lagi berada dalam band NAIF, satu-satunya sumber pendapatan gue selama lebih dari 20an tahun, gue pun merasa perlu mengasah otak lebih keras untuk menghidupi keluarga gue. Itu adalah tanggung jawab gue. Artinya, gue harus mulai bekerja dan menanggalkan sebagian idealisme gue sebagai seniman – setidaknya untuk beberapa saat. Karena gue yakin jelas, kalau gue bukan pedagang. Gue harus tetap berada di dunia kreatif. Itu sepertinya semacam bagian dari idealisme gue yang nggak bisa ditawar.

Singkat cerita, setelah selama setahun lebih pandemi berlangsung dan gue mencari peruntungan dari projek ke projek, baik di musik bersama FNF, juga di industri komik bersama FranKKomiK, akhirnya gue pun lelah. Di awal tahun 2021, gue angkat bicara ke teman-teman dari beberapa label rekaman, untuk mengadakan kerjasama sebagai produser musik. Namun angin pada akhirnya membawa gue bekerja di Sony Music Entertainment Indonesia (SMEI), salah satu label besar, sebagai Artist & Repertoire (A&R) Manager. Aktif per September 2021. Jujur, ini adalah sebuah langkah besar bagi gue. Sejak muda, gue belum pernah berstatus sebagai karyawan kantoran. Dulu gue pernah bekerja di beberapa production house dan advertising agency, sejak sekitar tahun 1999 sampai 2001. Tapi freelance, alias paruh waktu. Artinya, kini gue terikat dengan kode-kode etik dan peraturan perusahaan.

Dan lagi, sebagai A&R di label rekaman, berarti tugas gue adalah mengurusi orang lain (baca: artis-artis Sony Music). Padahal sebelum-sebelumnya gue yang menjadi pihak yang diurus oleh banyak orang.

“Apa Mas Pepeng bisa melepas jubah keartisan Mas selama bekerja di Sony?”, gue ingat banget saat pertanyaan ini terlontar dari Mas Munna, General Manager SMEI, dalam sebuah sesi wawancara kerja.

Tentu saja gue jawab, “Bisa”, karena gue sudah sadar sebelumnya bahwa gue memang harus bisa melakukan itu. Toh, merendah bukan berarti gue menjadi orang rendahan. Malah di sini gue bisa memperluas wawasan dan pergaulan.

Sementara itu, apa yang terjadi dengan usaha gue di bidang komik? Well, FranKKomiK masih tetap ada, dan produksi komik masih terus berjalan. Hanya saja gue dan Baja, partner gue, harus menurunkan perseneling ke gigi rendah. Jalan santai. Dan ada sedikit perubahan model bisnis FranKKomiK ke depannya nanti. Untuk hal ini akan gue ceritakan di episode khusus FrankBlog mendatang.

Apa pelajaran dari sini, guys? Yang gue pelajari adalah, kita harus tau batas kemampuan kita. Setiap kita memiliki batas yang berbeda, sesuai tingkatan ilmu dan pemahaman kita akan cara kerja semesta. Kita pun nggak bisa selalu mengikuti ego kita. Kita juga harus peka untuk pelajari situasi, dan mau berdamai dengan kenyataan.

Menyenangkan bisa berbagi ilmu dengan seniman-seniman musik yang lebih muda, bahkan kadang membuka silaturahim dengan teman-teman lama musisi yang sudah lama terputus. Pastinya juga menambah pertemanan. Berkolaborasi untuk satukan frekwensi.

Yuk, kita ngobrol-ngobrol! Banyak nih, yang bisa kita kerjakan!

Gue bersama tim A&R Sony Music Entertainment Indonesia, Andrey Noorman (tengah), dan Edward Christanto (kiri, bertopi)

Gue bersama tim A&R Sony Music Entertainment Indonesia, Andrey Noorman (tengah), dan Edward Christanto (kiri, bertopi)