Hal ini semakin bikin gue dan David gelisah tak menentu. Hahaha…
Nah, tanggal 7 Agustusnya, Mr. Ian Brown kebetulan manggung juga di Hard Rock Bali. Tapi apa lacur? Haha, NAIF tanggal 7 Agustus siang harus berangkat dari Bali menuju Mojokerto, untuk mengisi acara Konser Facebook Gratis-nya XL. Tambah gilalah David. Sementara guenya yang udah mulai biasa aja sejak malam pas konser Kula Shaker berlangsung. Bahkan David sempat nggak tenang saat malam itu mau manggung di Art Center, venue tempat NAIF manggung bareng God Bless. Tapi segera ia lebih tenang begitu Bang Syafriel, manajer NAIF, mengusahakan untuk mempertemukan Ian Brown dengan David di bandara Ngurah Rai, saat NAIF mau lepas landas ke Surabaya (sebelum akhirnya via darat ke Mojokerto) dan Ian Brown mendarat di Bali.
Gue, David, dan Emil adalah pendengar musiknya Kula Shaker. NAIF pernah ngebawain beberapa lagu mereka di panggung indie kami sekitar tahun ‘90an. Dan David, sangat mengidolakan Ian Brown, vokalis dari grup legendaris Brit Pop, The Stone Roses. Pertama kali David mengenal Brit Pop yaa dari band itu – diracunin sama temen-temen indie Jakarta era ‘90an. Memang, Brit Pop sangat mahsyur saat itu untuk kalangan komunitas indie. The Stone Roses, Oasis, Blur, dan Pulp adalah hero-heronya genre itu. Topi pancing dan jaket Adidas mendadak ngetrend, karena sering dipake sama mereka. Bahkan kacamata besar yang kerap dipakai David dan akhirnya jadi cirikhas NAIF dan penggemarnya juga konon diadaptasi dari fashion Anak Indies (julukan untuk penggemar musik Brit Pop). Kula Shaker menyusul setelah band-band tadi. Di Indonesia (khususnya Jakarta-Bandung-Jogja) sendiri akhirnya muncul band-band Indies seperti Rumahsakit, Jepit Rambut, Pestolaer (pasca era punk mereka), Bangku Taman dan banyak lagi. Anehnya, NAIF sering masuk dalam jajaran band Indies dari Jakarta. Padahal NAIF nggak pernah mengklaim kalo musiknya Brit Pop. Tapi nggak masalahlah, yang penting panggung jalan terus. Hahaa…
Kembali ke petualangan David mengejar Ian Brown… So, the moment has arrived… Saat itu tanggal 7 Agustus, di bandara Ngurah Rai, David sudah bernagkat bareng Begundal (kru NAIF) berangkat ke bandara. Sungguh pemandangan yang jarang terjadi. David rela nunggu Mr. Ian Brown sejak pagi. Karena Ian dikabarkan akan landing di Denpasar jam 11.00 WITA. Gue nggak ikut ke sana. Karen ague sendiri juga sebetulnya nggak pengen amat ketemu pentolan The Stone Roses itu. Gue tungguin kabar dari David, nggak kunjung muncul. Hmm, berarti dia belum ketemu, begitu pikir gue. Sampe akhirnya jam 13.00 WITA gue bareng Emil, Krisna (additional keyboards) dan Jarwo datang ke bandara, David belum juga berhasil ketemu idolanya. Ternyata pesawat Mr. Ian Brown mengalami delay. Dikabarkan, ia baru landing jam 13.45 WITA. Sedangkan NAIF harus boarding ke pesawat kami di jam itu juga, karena akan take off jam 14. 05 WITA. Hahaha, paniklah David!
Gue, Emil dan Krisna ikutan nimbrung aja. Kalo berhasil ketemu ya Alhamdulillah, kalo nggak yaa nggak pa-pa. Waktu berlalu, saat NAIF harus berangkat makin dekat, dan Ian Brown belum juga datang. Gue, Emil dan Krisna nunggu di restoran sambil makan siang. Tiba-tiba ada kabar dari Wawan (road manager NAIF) dari hape, bilang kalo pesawat NAIF udah tiba, dan NAIF harus segera boarding. Gue telepon David. David bilang, dia sama Syafriel lagi mengusahakan untuk bisa menembus penjagaan pintu keluar, untuk nyegat Ian Brown.
“Gimana?” tanya gue ke Emil.
“Ya udah, kita ke David aja dulu. Kalo udah time’s up juga pasti Syafriel akan bilang ke David untuk nyerah aja,” gitu jawab Emil.
So, berjalanlah gue bareng Emil dan Krisna menuju David. Pas banget, David mau masuk ke penjagaan pintu keluar. Ikutlah kami. Di dalam, deket pengambilan bagasi, dari pintu masuk landasan pacu, masuk sesosok tinggi kurus orang bule paruh baya dengan kaos santai dan kacamata hitam. Yes, Mr. Ian Brown has arrived!
David langsung menyerbu, salaman dan memeluk orang itu. Hahahaa! Langsunglah kami foto-foto sama idolanya David. Nggak lupa foto sendiri-sendiri juga. Kecipratan juga gue. Hehe.
Sementara itu, panggilan terakhir untuk rombongan NAIF udah dikumandangkan tiga kali. Wawan mulai panik, takut ditinggal pesawat. Rombongan NAIF belum bisa masuk karena gue, David, Emil, Krisna, Syafriel dan Haorits (fotografer NAIF) belum hadir di pasukan. Langsung aja setelah foto-foto dengan Ian Brown, kami lari tunggang langgang ke terminal lainnya, mengejar penerbangan ke Surabaya yang seharusnya udah tiba waktunya.
Untunglah kami masih ditungguin sama pesawatnya. Terima kasih Garuda Indonesia yang berbaik hati mau nungguin kami. Dan terima kasih juga untuk panitia Hard Rock Café yang udah ngijinin David ketemu sama Ian Brown. Terima kasih juga untuk rombongan Begundal NAIF, yang sabar nungguin dan siap untuk ketinggalan pesawat bareng. Hahaa… David, jangan lupa say thanks to Syafriel tuh!
Well, tindakan seperti tadi seharusnya nggak boleh ditiru sih, kalo elo masih mengutamakan profesionalisme dalam pekerjaan. Tapi, tetep aja, kita hanya manusia, yang punya banyak dilemma dalam hidup. Kadang nemuin sebuah kasus di mana kita harus memilih. Dan, selama kita tau dan siap nerima konsekwensi atas pilihan kita itu, yaa silakan jalani aja.
David NAIF adalah seorang seniman. Banyak yang mengidolakan temen gue satu itu. Tapi David juga manusia, dia berhak untuk punya idola. Dan menurut gue, bagus kalo seseorang yang banyak diidolakan itu juga punya idola. Biar dia nggak ngerasa sombong. Biar dia tau gimana rasanya mengidolakan seseorang. Gimana rasanya memburu idolanya itu. Biar punya rasa empati pula kepada penggemarnya. Bukan begitu, mas David?
PS:
Turut menyesali atas yang terjadi kepada Navicula (band rock asal Bali, idola gue) yang nggak jadi main di Hard Rock Bali, membuka konser Ian Brown. Sometimes sh*t happens, man.