Kebanyakan dari kita mungkin nggak asing dengan kata ‘cergam’, yang merupakan kependekan dari ‘cerita bergambar’ – yang banyak diartikan sama dengan komik. Tapi nggak banyak yang tau kalau istilah ‘cergam’ adalah hasil ceplosan seorang seniman komik asal kota Medan (Sumatera Utara), Zam Nuldyn, di sekitar tahun 1970. Begitu sih kalau menurut penulis dan jurnalis kawakan Arswendo Atmowiloto, yang gue baca di Wikipedia.
Anyway, apapun itu, setelah gue hadir ke Pameran Cergam Medan yang digelar di Bentara Budaya Jakarta (Jl. Palmerah Selatan No. 17, Jakarta Pusat) dan melihat sendiri semua yang dipamerin di sana, gue ngerasa super-takjub. Ternyata para cergamis (baca: komikus) Medan di masa lalu – tepatnya antara tahun 1955-1965 – bisa dibilang sangat bersemangat dalam membuat cergam. Nggak cuma para cergamisnya aja, tapi juga penerbit-penerbitnya terlihat sangat mendukung pergerakan seniman-seniman itu, sehingga industrinya pun terbentuk. Semua karya yang dipajang di pameran yang dibuka tanggal 8-18 Desember 2016 itu sangat beragam. Dan terlihat jelas bagaimana perkembangan genrenya. Dimulai dari cergam yang bertema lokal banget, petualangan, aksi kepahlawanan dan roman. Semua karya cergamis Medan.
Luar biasa!
Foto: Imansyah Lubis
Foto: Imansyah Lubis
Foto: Imansyah Lubis
Hadirnya gue di situ selain memang pengen ngeliat pamerannya, juga ada agenda khusus. Jadi, di setiap hari pameran dibuka selalu ada agenda lain, seperti workshop dan diskusi. Nah, di tanggal 17 Desember, diselipkan sebuah agenda acara yang namanya Rally Launching. Di sini para cergamis muda (walau gue nggak terbilang muda lagi) diberi kesempatan untuk meluncurkan dan memperkenalkan cergam karya mereka. Well, seperti bisa lo tebak, ya, di sesi ini gue meluncurkan Setan Jalanan 3. Hadir pula Haryadhi menemani gue mempresentasikan edisi ketiga serial trilogi #SetanJalanan. Alhamdulillah, mini-launching Setan Jalanan 3 berlangsung lancar dan asik. Di sesi itu, selain Setan Jalanan ada juga tiga cergam lagi yang diluncurkan; Siluman Kucing karya Deskov IKJ, Komik Baper karya Fadia dan Cacink, juga Eksis Abiz karya Gaber.
Foto: dok. FranKKomiK
Alhamdulillah, sesi Rally Launching berjalan lancar. Gue saat itu nggak ngikutin sampai selesai sih, karena waktunya berbenturan dengan panggung NAIF di wilayah Jakarta Timur sorenya, jadi gue harus ngejar waktu. Yang pasti gue bisa bilang bahwa mini-launching SJ3 (kependekan untuk Setan Jalanan 3) berlangsung damai, eh, lancar. Hehe. Ada satu yang gue highlight di momen launching SJ3, yaitu saat seseorang paruh baya bertanya ke gue dan Haryadhi, “Apakah seorang penulis dalam cerita komik juga bisa dibilang sebagai Komikus juga?” Jujur, gue nggak bisa ngejawabnya. Bahkan pertanyaan serupa juga pernah menghantui gue di sekitar tahun 2010-an, saat gue menulis KomikNAIF (Petualangan NAIF Dan Mesin Waktu). Pada waktu itu gue kurang ngerasa pede disebut sebagai Komikus, tapi di sisi lain gue pengen berkarya di dunia komik.
Akhirnya – karena gue nggak bisa jawab – Haryadhi yang ngejawab pertanyaan bapak itu.
“Menurut gue: iya. Penulis komik juga bisa disebut sebagai Komikus,” jawab Haryadhi mantap.
Memang, sering kita beranggapan bahwa Komikus itu ya nggambar komiknya sendiri. Padahal kalau kita tilik di industri komik secara global, banyak karya komik yang dilahirkan juga dari hasil “perkawinan” antara penulis dengan juru gambar. Yang contohnya banyak menerapkan ini adalah industri komik di Amerika dan Eropa. Sedangkan di Jepang lebih umum si Komikus juga adalah penulis komik itu sendiri.
Begitu kurang lebih yang dijawab Haryadhi. Gue cukup lega mendengar kata-kata itu. Walaupun sebetulnya gue masih kurang ngerasa pas kalau disebut sebagai Komikus. Mungkin gue lebih cocok disebut Penulis Komik. Makanya setiap kali ada interview atau talkshow, gue lebih sering memakai Produser Komik sebagai predikat gue.
Apapun itu, bagi gue kini predikat itu nggak penting. Elo nggak bisa menggambar komik tapi kalau elo merasa bisa menulis komik dan ingin terjun ke dunia perkomikan sebagai penulis, ya silakan aja. Bekerjasamalah dengan illustrator komik untuk mewujudkan cita-cita lo itu. Terserah orang mau memanggil elo apa. Yang penting di sini adalah karya elo. Karya kita.
Foto: Imansyah Lubis
Foto: Imansyah Lubis
Balik lagi ngomongin soal cergam Medan, seperti gue bilang tadi, semangat cergamis di masa itu, ditambah dukungan penerbitnya, melahirkan industri yang bergairah. Di masa kini sangat baik kalau kita bisa membentuk atmosfer seperti itu, demi kemajuan komik Iokal lagi – dan komik Indonesia, secara umum. Tapi, apakah cukup cuma semangat komikus, produser komik dan penerbitnya? Nggak. Perlu ada dukungan juga dari para publik dan media. Dukungan banyak bentuknya, mulai dari ngasih jempol di medsos, hadir di setiap acara komik, dan – ini yang paling penting – membeli komik-komik karya komikus Indonesia. Media diperlukan untuk menyebarkan virus positif tentang komik kita ke publik.
Publik kita harus percaya bahwa komik-komik lokal kita juga nggak kalah bagus dengan yang impor. Kalau udah ngomongin bagus-tidaknya, berarti berbicara soal kualitas produk dan tentunya konten komik itu sendiri. Balik lagi ke si komikus, produser dan penerbitnya.
Semua saling bergantung, semua saling berhubungan.
Aselikk, Pameran Cergam Medan sangat menginspirasi gue untuk turut terus berusaha membentuk industri komik Indonesia bergairah. Ayo kita berkarya!