PROPAGANDA DALAM INDUSTRI KREATIF

Sewaktu kecil cita-cita gue sering berubah. Ada masa di mana gue getol pengen jadi dokter karena sering ketemu dokter dan diperiksa oleh dokter, ada masanya juga pengen jadi wartawan gara-gara nonton film Superman (Clark Kent, alter ego Superman, adalah seorang wartawan), pengen jadi polisi karena nonton film CHiP’s, dan yang paling lama bertahan sampai gue SMP adalah pengen jadi dekektif atau agen rahasia. Semua gara-gara pengaruh film.

Manusia sejak abad 20 banyak dipengaruhi oleh media elektronik. Segala informasi kita terima dari radio dan televisi. Tapi televisi yang akhirnya banyak berpengaruh di dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Sampai-sampai terekam juga di lagu Video Kills The Radio Star milik Buggles. Film adalah media hiburan yang banyak menginspirasi orang. Banyak dampak positifnya, nggak sedikit juga negatifnya. Tapi kita sekarang ngomongin positifnya aja deh yaa..

Banyak film bule, baik itu film televisi atau layar lebar, yang punya muatan tersendiri di luar cerita yang bikin si penonton jadi tertarik akan isi film itu. Contohnya yaa seperti kasus gue dan cita-cita gue tadi di atas. Kenapa gue pengen jadi detektif? Karena, berdasarkan film, gue menilai bahwa jadi detektif itu sangat menyenangkan dan penuh tantangan. Memecahkan kasus-kasus pelik itu menyenangkan bagi gue. Padahal kan kalau dipikir lagi, seringkali detektif di film itu nyaris mati. Itu semua terlupakan, karena daya tarik khusus dari film itu tentang detektif. Dari film-film kita juga bisa mendapat banyak ilmu. Misalnya tentang ilmu kedokteran yang didapat dari film-film bergenre drama kedokteran seperti General Hospital dan E.R. di masa lalu, atau Grey’s Anatomy di masa sekarang. Semua itu akhirnya bisa menjadi sebuah media propaganda tersendiri bagi negara asal film tersebut.

Hmm, propaganda. Kalau ngomongin soal propaganda, negara-negara bule, terutama Amerika, memang jagonya bikin propaganda. Salah satunya yang paling berhasil adalah tokoh Superman. Seorang pembela kebenaran yang super sempurna kekuatan fisik, otak dan hatinya. Kostumnya berwarna biru-merah, warna dominan di bendera Amerika. Motonya: ’Fighting for truth, justice and the American Way!’. Akhirnya, karena itu semua, seluruh dunia kena demam Superman. Termasuk di Indonesia, dan gue sendiri kena sewaktu kecil. Kita taunya bahwa Superman itu Amerika, dan Amerika itu Superman… Sang Pembela Kebenaran! Polisi Dunia!

Masih ingat gimana suksesnya buku dan film The Da Vinci Code? Yang bikin orang-orang di seluruh dunia penasaran sama museum Louvre di Perancis. Semua pengen tau apakah bener di bawah tanah museum itu tersemayamkan jasad Maria Magdalena, perempuan yang di versi cerita itu dianggap sebagai istri Yesus. Sengaja atau nggak sengaja, hal itu bikin pendapatan negara Perancis melonjak lagi melalui Louvre.

Terbukti, dunia hiburan adalah media yang pas bagi suatu pihak untuk mempromosikan diri. Bisa melalui cara yang lugas kayak iklan-iklan di televisi, atau cara halus seperti propaganda lewat musik, film, atau buku.

Belakangan ini ada genre musik yang namanya K-Pop“K” adalah inisial dari “Korean”, artinya “asal Korea”. Tren K-Pop dimulai dari munculnya film-film drama televisi Korea yang menjual wajah-wajah sweet boys dan candy girls ala Korea yang menjamur dan disukai anak-anak muda, terutama perempuan. Sedangkan perempuan adalah sasaran utama industri. Produk apa pun itu, kalo udah disukai perempuan, dijamin laku! Dan apa yang terjadi dengan K-Pop? Laku abis, tentunya. Di Indonesia juga, pastinya.

Sepertinya Indonesia saat ini butuh lagi media propaganda yang memang diset untuk memajukan negara dan menaikkan devisa. Bukan propaganda untuk memajukan segelintir kelompok dan golongan aja. Kita butuh Upin & Ipin versi Indonesia yang bisa mengharumkan nama Indonesia, seperti Upin & Ipin yang sukses melambungkan nama Malaysia. Intinya, butuh konten lokal yang – nggak harus original, tapi – mampu bikin segala hal di negara ini menarik. Kenapa juga profesi guru, polisi dan pemadam kebakaran nggak terlihat keren seperti kalo kita ngeliat profesi yang sama di film-film bule?! Mungkin udah ada yang mencobanya, tapi karena kurang dukungan , entah itu sponsor atau apa pun itu yang berhubungan dengan permodalan, akhirnya proses produksi nggak maksimal, sehingga bikin film itu jadi sebuah hiburan yang kurang diminati. Mau nyoba lagi, keburu kapok. Akhirnya yang ada di tanah air tercinta ini yaa tayangan-tayangan dan produk-produk industri masif yang begitu-begitu aja. Yang cuma mikirin laku nggaknya aja.

Penghentian tayangan film box office dunia malah bikin laku bioskop-bioskop negara tetangga, sementara yang nggak mampu nonton film di luar negeri mau nggak mau beli DVD bajakan yang jelas-jelas murah harganya. Lhaa, katanya mau memberantas pembajakan, tapi kok malah jadi begini?? Yah, itulah Indonesia. Negara tercinta kita.