HASIL DARI 19 TAHUN BERKARYA – Sebuah Jurnal Perjalanan Bersama NAIF

NAIF hari ini, 22 Oktober 2014, genap berusia 19 tahun.
Wuih, 19 tahun! Usia yang nggak lagi muda untuk sebuah grup musik. Kalau kita membicarakan ini adalah usia manusia, maka 19 tahun belumlah menjadi usia matang. Di usia itu kita baru aja 2 tahun memiliki Surat Ijin Mengemudi untuk kendaraan bermotor. Di usia itu kita baru aja (mungkin) merasakan kecupan bibir dari pacar kita. Eh, jaman sekarang mungkin cipokan udah dimulai sejak SMP ya? Hehehe.
Yah, apapun itu, 19 tahun bagi manusia adalah usia yang masih tergolong muda. Tapi saat ngomongin sebuah band, maka usia 19 tahun bukan lagi usia muda. Entah udah berapa banyak panggung yang NAIF lalui, entah udah berapa banyak kota dan provinsi di Nusantara ini yang NAIF arungi. Banyak banget.

Dulu, gue inget banget, gue sering ngumpulin segala cindera mata dari setiap panggung NAIF. Gue kumpulin tiket kereta api (jaman dulu di tahun ‘90an naik pesawat masih mahal, bro. Haha!), gue kumpulin ID card dan pamflet acara, gue hitung satu persatu panggung NAIF di notebook gue dan lain-lain; sampai akhirnya gue udah males untuk ngumpulin itu semua. Karena makin lama gue ngerasa “kok makin banyak ya?”, hahaha… Dan entah kapan tepatnya gue putuskan untuk menghentikan aktivitas gue semua itu. Pokoknya tau-tau udah nggak, aja!

Sembilan belas tahun NAIF merupakan tahun-tahun pembelajaran gue dalam bermusik. Gue ingat betul, di awal gue ngedrum di band ini – saat itu masih ada Chandra si kibordis – gue belum bisa main drum dengan benar. FYI: gue memang dulu belajar drum di jalanan. Tiba-tiba aja saat masih SMP gue bersama empat kawan sekolah gue bikin band, dan gue memilih diri gue sendiri dengan yakinnya posisi gue di drum, padahal belum pernah menyentuh sama sekali alat musik pukul itu. Tapi seiring perjalanan gue ngeband, gue pelan-pelan mulai belajar dan belajar bagaimana cara memukul dan menendang dengan benar. Hehe.

Tapi melalui NAIF – band yang gue bentuk di masa kuliah bareng David dan Jarwo – gue menemukan banyak kekurangan dalam permainan drum gue, dan hingga kini gue masih terus menggali ilmu bermain drum dengan benar. Kalau kamu perhatikan, permainan drum gue bisa terdengar banget progresnya di situ. Teteeup, nggak mau kursus. Hehehe.

Melalui NAIF juga, gue mengalami proses pendewasaan secara pribadi. Dan gue yakin, itu juga dialami oleh ketiga bandmates gue, David, Jarwo dan Emil. Ya, wajarlah… Kami dulu saat awal ngeband bareng masih muda. Ada yang masih berusia awal 20an, ada yang masih baru mau masuk usia 20. Masih hijau. Dan, kini, 19 tahun kemudian, ada yang udah masuk usia 40an, ada yang baru mau masuk usia 40. Pendewasaan pribadi dan (mungkin banget) spiritual wajar saja terjadi.

Melalui NAIF gue mendapat pelajaran penting, tentang pentingnya berproses. Dalam berkarya, NAIF nggak gampang menyatukan ide. Kami berempat adalah konseptor. Kami berempat adalah songwriter dan arranger. Kami berempat adalah seniman. 
Dan seniman itu egois. 
Alhasil banyak juga ide-ide yang nggak jadi terealisasi karena perbenturan pendapat. Banyak juga yang pada akhirnya terealisasi setelah melalui proses yang panjang. Proses. Proses. Proses. NAIF percaya pada proses. Segala sesuatu itu berproses hingga akhirnya lahir dan sempurna.

Bermain!
NAIF itu pemain band, bukan musisi. Mengerti bedanya? Bermain. Kami bermain di studio rekaman, dan kami bermain di atas panggung.

Melalui NAIF gue bisa hidup dan menghidupi. Alhamdulillaah, sejauh ini gue dan rekan-rekan satu band di NAIF ini bisa hidup dari band ini, dan bisa menghidupi keluarga kami dari band ini. Bisa menghidupi seluruh kru dan tim manajemen kami dari band ini. Ini sebuah berkah.

Melalui NAIF, gue menemukan kenyataan bahwa gue dan ketiga kawan gue di band ini adalah sekumpulan orang-orang yang beruntung. Kenapa gue sebut demikian? Ehemm… Begini (sambil membetulkan posisi duduk, meneruput sedikit teh hangat)… Eaaa, udah kayak nulis skenario komik-komik gue. Haha!
Begini, bung. NAIF itu bisa dibilang adalah band yang cukup ternama, tapi nggak ngetop. NAIF itu band yang banyak hits tapi bukan band jutaan kopi. NAIF itu band yang laku di panggung, tapi nggak laku penjualan records-nya. Hahahaha! Dulu gue sempat nggak mensyukuri posisi itu, karena gue mau lebih. Gue mau NAIF mendapatkan lebih. Dan bukan cuma gue. Kawan-kawan gue di band ini juga sempat melakukan percobaan ilmiah di laboratorium, tentang bagaimana meramu cairan syair dan alunan nada menjadi sebuah senyawa yang membuat band ini laku di pasaran CD dan kaset. Tapi kami kemudian sadar, bahwa karya apapun nggak akan bisa bagus kalau nggak jujur. Justru jujur dalam berkarya adalah satu kunci sukses NAIF sejauh ini. Justu kejujuran lagu-lagu kami itu yang banyak disuka mereka. Kami justru lebih khawatir kalau nggak mendapat job panggung, daripada penjualan records nggak laku. Kenapa? Karena NAIF itu band panggung. NAIF itu besar di panggung. Semakin kami banyak manggung, semakin kami sadar bahwa orang-orang menyukai kami. Mereka menikmati penampilan kami… dan lagu kami juga, tentunya.

Entah berapa banyak band yang NAIF saksikan muncul, kemudian laku, ngetop, dan beberapa di antara mereka bahkan mencapai jutaan kopi di penjualan CD dan kaset mereka… Dan entah berapa banyak dari mereka itu kemudian menghilang ditelan arus deras lautan. Sementara kami, NAIF, tetap di perahu kecil kami, berhimpitan, berusaha menerjang ombak, dan hingga kini tetap bertahan. Alhamdulillaah, segala puji bagi Tuhan Yang Maha Suci, Maha Besar dan Maha Sempurna. Kami memang beruntung.

Menurut lo pada, apa kira-kira tips NAIF bisa bertahan hingga 19 tahun ini? Gue pun baru nyadar di tahun ini juga, tahun 2014, tentang apa kunci dari kebersamaan kami hingga kini masih bertahan. Kuncinya adalah: Sadar Diri.
Sadar diri bahwa NAIF adalah band yang laku di panggung, sadar diri bahwa NAIF adalah band sederhana yang ternyata disuka banyak orang, sadar diri bahwa kami (baca: gue, David, Emil dan Jarwo) adalah orang-orang yang beruntung bisa hidup dan menghidupi dari sini, sadar diri bahwa NAIF itu naïf. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Ikhlas.

Terima kasih untuk saudara-saudara gue: David Bayu yang dulu di jaman kuliah adalah salah satu kawan terdekat gue, pulang bareng naik motor bebek gue dan berkopi bersama hampir tiap malam di rumah Pakdenya; Emil Hussein yang menjadi sahabat saat gue mau ngobrol serius tentang banyak hal, kawan gue dalam berkonsultasi mulai dari masalah pribadi hingga pekerjaan; dan Fajar Endra alias Jarwo, manusia tercuek dan ter-apa adanya yang pernah gue kenal, kawan saat iseng nggak jelas dulu di masa kuliah, ngapain coba muterin Monas tujuh kali naik motor? Haha!
Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih telah menjadi bagian dalam hidup gue yang menyadarkan gue tentang pentingnya untuk ikhlas, pentingnya untuk menjalani segala proses dalam melakukan hal apapun.

Terima kasih Kawan-kawan NAIF semua yang sudah menjadi bagian dalam perjalanan NAIF, terima kasih Begundal NAIF para teknisi, mantan-mantan manajer NAIF dan manajer NAIF terkini. Terima kasih semua.

Let’s play!